Pemerintah Indonesia Desak Uni Eropa Tunda Aturan Deforestasi hingga 2028, Khawatirkan Nasib Petani Kecil

Dipublish oleh Admin | 11 Juli 2025, 10.42 WIB

Pemerintah Indonesia Desak Uni Eropa Tunda Aturan Deforestasi hingga 2028, Khawatirkan Nasib Petani Kecil
Pemandangan udara perkebunan kelapa sawit di Nagan Raya, di pesisir barat provinsi Aceh, Sumber : Chaideer Mahyuddin/AFP/Getty Images

Towa News, Jakarta - Pemerintah Indonesia kembali meminta Uni Eropa (UE) menunda penerapan regulasi deforestasi yang melarang impor produk dari lahan yang telah ditebangi hutan. Permintaan tersebut menambah tekanan dari negara-negara mitra dagang lain yang juga menganggap aturan itu membebani produsen, khususnya petani kecil.

Wakil Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa, Muhammad Takdir, mengatakan penundaan hingga 2028 diperlukan agar negara-negara produsen, khususnya petani kecil, memiliki cukup waktu untuk beradaptasi. Ia juga mengusulkan agar tidak ada sanksi selama masa penyesuaian.

"Perusahaan besar bisa menyesuaikan. Tapi ada 8 juta lahan petani kecil, atau 17 juta jika dihitung dengan keluarganya. Mereka tidak mampu menghadapi regulasi ini. Mereka akan tersingkir dari rantai pasok," kata Takdir dilansir dari Financial Times.

Salah satu tantangan utama adalah kewajiban penyediaan data geolokasi untuk tiap kebun atau lahan produksi. Banyak petani kecil berada di wilayah yang tidak terjangkau sinyal ponsel, sehingga sulit memenuhi persyaratan tersebut.

Tekanan Meluas, Aturan Dinilai Memberatkan dan Tidak Realistis

Aturan deforestasi UE ini merupakan bagian dari European Green Deal yang diumumkan pada 2019, yang menargetkan pengurangan dampak lingkungan dari konsumsi dalam negeri. Namun, kondisi ekonomi Eropa yang melemah dan perkembangan geopolitik seperti kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih ikut mendorong sentimen anti-kebijakan hijau di sejumlah negara.

Walau Komisi Eropa sudah menunda penerapan aturan hingga akhir 2025, banyak negara dan sektor industri menilai waktu tersebut belum cukup. Negara anggota UE seperti Jerman, Prancis, dan 16 lainnya mendesak pelonggaran regulasi, terutama bagi negara dengan risiko deforestasi rendah.

“Kami sudah sampaikan sejak tahun lalu bahwa regulasi ini belum siap, dan belum banyak perubahan sejak itu,” ujar seorang diplomat senior UE.

Peraturan ini mencakup tujuh komoditas utama: daging sapi, kakao, kopi, kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu. Negara produsen diklasifikasikan berdasarkan risiko deforestasi: rendah, standar, atau tinggi. Produk dari negara berisiko rendah akan menghadapi prosedur bea cukai yang lebih ringan.

Penolakan Meluas, Indonesia Siapkan Langkah di WTO

Takdir juga menyebutkan bahwa sejumlah negara  termasuk India dan Kolombia  tengah mempertimbangkan membawa isu ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Meskipun belum ada gugatan resmi, beberapa negara telah mengusulkan diskusi lebih lanjut di Jenewa.

Di sisi lain, Indonesia tetap berharap negosiasi perjanjian perdagangan bebas dengan UE bisa diselesaikan sebelum akhir 2025, meski masih terdapat perbedaan pandangan terkait aturan lingkungan dan pembatasan ekspor nikel oleh Jakarta.

Sementara itu, Amerika Serikat juga menekan UE agar dibebaskan dari aturan deforestasi sebagai bagian dari kerangka kesepakatan perdagangan yang lebih luas. UE sendiri telah memasukkan AS dan seluruh negara anggotanya dalam kategori “risiko rendah”, yang berarti pengawasan terhadap produk asal AS akan lebih longgar.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video