MK Tegaskan Larangan Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris BUMN dan Swasta

Dipublish oleh Tim Towa | 18 Juli 2025, 13.47 WIB

MK Tegaskan Larangan Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris BUMN dan Swasta
ruang sidang Pleno MK. Foto: Humas/Ifa

Towa News, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi perusahaan negara maupun swasta. Penegasan ini disampaikan dalam Putusan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan Kamis (17/7/2025).

Meskipun permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dinyatakan tidak dapat diterima, MK tetap memberikan penegasan hukum yang tegas terkait larangan rangkap jabatan ini.

Pemohon Meninggal Dunia

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa permohonan tidak dapat diterima karena pemohon, Juhaidy Rizaldy Roringkon, telah meninggal dunia. Informasi kematian tersebut diperoleh berdasarkan surat keterangan dari RS Dr. Sutoyo Jakarta pada 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB.

"Karena Pemohon telah meninggal dunia maka seluruh syarat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh Pemohon," ujar Saldi.

Menurut MK, kedudukan hukum pemohon yang telah meninggal dunia tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut karena syarat anggapan kerugian hak konstitusional harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.

Dasar Hukum Larangan

Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan penilaian bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri. Berdasarkan Pasal 23 UU 39/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

  • Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

  • Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta

  • Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD

MK juga merujuk pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang sebelumnya telah melarang wakil menteri rangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta. Alasannya, posisi wakil menteri adalah sama dengan menteri yang diangkat oleh Presiden sehingga harus juga tunduk pada Pasal 23 huruf b UU Kementerian Negara.

Latar Belakang Gugatan

Sebelumnya, Juhaidy Rizaldy Roringkon selaku Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES) mengajukan gugatan karena menilai Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 17, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945.

Pemohon merasa dirugikan karena tidak adanya larangan eksplisit bagi wakil menteri untuk merangkap jabatan. Dia berpandangan bahwa kondisi ini telah menjadi hal lumrah dalam pemerintahan saat ini dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan serta konflik kepentingan.

Dalam permohonannya, Juhaidy meminta MK menyatakan frasa "Menteri" dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai "Menteri dan Wakil Menteri".

Implikasi Putusan

Meskipun permohonan tidak dapat diterima secara formal, penegasan MK ini memberikan kepastian hukum bahwa wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi perusahaan. Hal ini penting mengingat praktik rangkap jabatan di kalangan pejabat pemerintahan masih menjadi sorotan publik.

Putusan ini juga menegaskan bahwa dalam membaca putusan MK, tidak hanya amar putusan yang perlu diperhatikan, tetapi juga ratio decidendi atau alasan hukum yang mendasari putusan tersebut.

Sidang pengucapan putusan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK, Jakarta.

 

Sumber:mkri.id, Bisnis.com

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video