Indonesia Hadapi Ancaman Krisis Lapangan Kerja di 2026-2027

Dipublish oleh Tim Towa | 17 Juli 2025, 11.47 WIB

Indonesia Hadapi Ancaman Krisis Lapangan Kerja di 2026-2027
ilustrasi Krisis Pekerjaan tahun 2026-2027

Towa News, Jakarta - Pasar tenaga kerja Indonesia diperkirakan akan menghadapi tantangan serius dalam dua tahun ke depan, dengan berbagai indikator menunjukkan potensi penurunan signifikan ketersediaan lapangan kerja pada periode 2026-2027.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, mengakui bahwa fenomena membludaknya antrean pelamar kerja belakangan ini mencerminkan adanya mismatch struktural di pasar tenaga kerja nasional.

"Ini bukan semata-mata sinyal 'darurat tenaga kerja', tetapi sebuah cerminan adanya mismatch struktural di pasar tenaga kerja kita, yang jika tidak segera diintervensi secara tepat, berpotensi menekan daya saing nasional dalam jangka panjang," ungkap Shinta kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

Proyeksi Internasional Menunjukkan Tren Negatif

Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan tingkat pengangguran Indonesia akan meningkat menjadi 5,1% pada 2026. Sementara itu, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,8% di tahun yang sama, lebih rendah dari target jangka menengah pemerintah.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menekankan bahwa penurunan kesempatan kerja tidak hanya terkait angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga siapa yang menyerap tenaga kerja dan bagaimana produktivitasnya.

"Penurunan kesempatan kerja tidak hanya soal angka pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi krusial adalah siapa yang menyerap tenaga kerja dan bagaimana produktivitasnya," ujar Bhima dalam wawancara dengan Netralnews.com.

Faktor-Faktor Penyebab Krisis

1. Perlambatan Sektor Manufaktur

Industri manufaktur yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja besar mengalami kontraksi. Indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Juni 2025 tercatat turun menjadi 46,9, menandakan kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.

Data menunjukkan penurunan drastis daya serap tenaga kerja: jika pada 2013 investasi Rp 1 triliun mampu menyerap lebih dari 4.500 tenaga kerja, di kuartal I 2025 hanya mampu menyerap 1.277 orang.

"Tantangannya adalah bagaimana kita menyiapkan talenta yang upskilled dan reskilled agar dapat bermigrasi ke sektor-sektor baru yang lebih produktif dan sesuai dengan kebutuhan industri masa depan," ujarnya kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

2. Gelombang Otomatisasi dan AI

Akselerasi transformasi digital, otomasi, dan teknologi artificial intelligence berkontribusi pada job displacement di berbagai level. Laporan McKinsey Global Institute memperkirakan sekitar 23 juta pekerjaan di Asia Tenggara terancam otomatisasi dalam lima tahun ke depan.

"Sejak 2023, puluhan ribu pekerja di sektor tekstil dan elektronik dirumahkan, sebagian karena relokasi pabrik ke negara tetangga dan sebagian lain karena efisiensi berbasis teknologi," jelas Bhima dalam wawancara dengan Netralnews.com.

3. Melemahnya Konsumsi Domestik

Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, mengalami penurunan. Data BPS dan World Bank mencatat penyusutan signifikan kelompok kelas menengah dari 21,5% pada 2019 menjadi sekitar 17% pada 2024. "Mereka yang dulunya menjadi motor ekonomi kini mulai terperosok, dan konsumsi turun artinya permintaan kerja juga menyusut," jelas Bhima dalam wawancara dengan Netralnews.com.

4. Ketimpangan Keterampilan

Dunia pendidikan dianggap belum cukup adaptif terhadap kebutuhan zaman. Kurikulum yang lambat berubah dan minimnya pelatihan praktis membuat banyak lulusan menganggur atau hanya terserap ke sektor informal.

Tantangan Struktural Lainnya

Shinta Widjaja mengidentifikasi beberapa tantangan struktural yang perlu diatasi:

Pertama, Indonesia menghadapi fase kompleks di industri padat karya akibat dinamika geopolitik, perlambatan global, dan pelemahan konsumsi domestik yang menekan permintaan produk manufaktur.

Kedua, penanaman modal semakin didominasi investasi padat modal yang secara alamiah menyerap jumlah tenaga kerja lebih terbatas.

Ketiga, masih terdapat regulatory bottleneck yang memerlukan perbaikan untuk menciptakan iklim investasi yang benar-benar enabling dan pro-growth.

"Jadi jika ditanya, apakah kondisi ini 'darurat'? kami lebih menyebutnya sebagai 'wake-up call'. Ini sinyal keras bahwa kita harus melakukan reformasi struktural di pasar kerja, menata ekosistem investasi, dan mendorong peningkatan employability tenaga kerja kita," kata Shinta kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

Dampak Sosial yang Mengancam

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Yani Widjaja, memperingatkan bahwa tahun 2026 bisa menjadi titik balik jika tidak ada langkah serius dari sekarang.

"Tahun 2026 bisa menjadi titik balik jika kita tidak mengambil langkah serius dari sekarang," ujar Yani dalam wawancara dengan Netralnews.com. "Krisis pengangguran bisa membawa dampak sosial serius: dari naiknya angka kriminalitas hingga kemiskinan baru," ungkap Yani dalam wawancara dengan Netralnews.com.

Fenomena brain drain juga mulai mencemaskan, dengan banyak anak muda terdidik memilih bekerja untuk perusahaan luar negeri atau mencari peluang di luar Indonesia karena ketiadaan ekosistem kerja yang suportif.

Rekomendasi Solusi

Para ahli menyarankan beberapa langkah strategis:

  1. Reformasi Pendidikan Vokasi: Mempercepat penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri masa depan

  2. Insentif Industri Padat Karya: Memperluas insentif bagi industri yang dapat menyerap banyak tenaga kerja

  3. Jaminan Sosial: Menyediakan perlindungan untuk pekerja sektor informal dan gig economy

  4. Program Reskilling: Meningkatkan employability tenaga kerja melalui pelatihan keterampilan baru

Optimisme di Tengah Tantangan

Meski menghadapi tantangan berat, Shinta Widjaja menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi demographic dividend yang harus dikapitalisasi.

"Energi produktif anak bangsa harus diarahkan ke sektor-sektor strategis, green economy, digital economy, hingga industri hilirisasi yang padat nilai tambah," ujarnya kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

APINDO menyatakan dukungan penuh untuk langkah konkret memastikan sinergi kebijakan di lapangan berjalan efektif, dengan semangat 'Indonesia Incorporated' di mana semua pihak bergerak bersama.

"Mari kita jadikan fenomena ini sebagai trigger untuk segera bertransformasi," tutup Shinta kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

Kondisi ini menuntut respons cepat dan terkoordinasi dari semua stakeholder untuk mencegah Indonesia tergelincir ke dalam krisis ketenagakerjaan yang akan sulit dipulihkan dalam waktu singkat.

 

Sumber: detik.com, Netralnews.com

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video