Dipublish oleh Admin | 23 Januari 2025, 02.51 WIB
Towa News, Jakarta - Sejak awal Januari 2025, publik dikejutkan dengan temuan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar laut ini terbuat dari bambu-bambu yang ditancapkan ke dasar laut. Temuan ini memicu perhatian berbagai pihak, dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Berikut adalah rangkuman perjalanan kasus ini:
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti, menyebutkan bahwa informasi mengenai pagar laut pertama kali diterima pada 14 Agustus 2024. Setelah melakukan pengecekan pada 19 Agustus 2024, panjang pagar yang terpantau mencapai 7 kilometer. "Kemudian setelah itu, tanggal 4-5 September 2024, kami bersama Polsus dari PSDKP (Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) KKP dan tim gabungan dari DKP, kami kembali datang ke lokasi untuk bertemu dan berdiskusi," kata Eli, dikutip dari Kompas.com (8/1/2025). Pada 18 September 2024, DKP Banten menginstruksikan penghentian aktivitas pemagaran laut. "Kami meminta agar aktivitas ini segera dihentikan," ujar Eli.
Pada 9 Januari 2025, KKP menyegel pagar laut tersebut dengan alasan tidak memiliki izin dasar KKPRL dan berada di zona perikanan tangkap serta zona pengelolaan energi. Keberadaan pagar laut ini dinilai merugikan nelayan dan mengancam ekosistem pesisir. "Kami segel karena tidak memiliki izin yang sesuai, dan hal ini juga membahayakan kelangsungan hidup ekosistem serta aktivitas nelayan," kata seorang pejabat KKP, dikutip dari Kompas.com (10/1/2025).
Koordinator Jaringan Rakyat Pantura (JRP), Sandi Martapraja, pada 11 Januari 2025 mengklaim bahwa pagar laut dibangun secara swadaya oleh masyarakat untuk mencegah abrasi dan mitigasi bencana. "Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," tuturnya.
Manajemen pengembang Pantai Indah Kosambi (PIK) 2 membantah keterlibatan mereka dalam pembangunan pagar laut. "Itu tidak ada kaitan dengan kita, nanti selanjutnya oleh kuasa hukum yang akan menyampaikan tindak lanjut," ujar Toni dari manajemen PIK 2, dilansir dari Kompas.com (13/1/2025).
Pada 18 Januari 2025, atas perintah Presiden Prabowo Subianto, TNI AL membongkar pagar laut menggunakan 600 personel dari Kopaska, Marinir, dan Dislambair. Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) III Jakarta, Brigadir Jenderal (Mar) Harry Indarto, mengatakan, "Perintah secara langsung Presiden melalui Kepala Staf Angkatan Laut yang utama." Pembongkaran tetap berlanjut meskipun mendapat pertentangan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono.
KKP menegaskan bahwa proses investigasi terhadap kasus ini tetap berjalan meskipun pagar laut telah dibongkar. "Proses penyidikan terkait kasus ini terus berjalan, termasuk pemanggilan pihak-pihak yang diduga terkait," ujar Doni Ismanto, Staf Khusus Menteri KP, dikutip dari Kompas.com (19/1/2025).
Beberapa area pagar laut diketahui memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM). Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengatakan, "Kementerian ATR/BPN telah mengutus Dirjen SPPR, Pak Virgo, untuk berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) terkait garis pantai kawasan Desa Kohod." Nusron juga menambahkan, "Jika ditemukan cacat material, cacat prosedural, atau cacat hukum, sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 2021, maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan tanpa harus melalui proses pengadilan, selama usianya belum mencapai lima tahun."
Pada 22 Januari 2025, Nusron Wahid mengumumkan pembatalan SHGB dan SHM di area pagar laut karena cacat prosedur dan material. "Dari hasil peninjauan dan pemeriksaan terhadap batas di luar garis pantai, itu tidak boleh menjadi privat properti. Maka itu, ini tidak bisa disertifikasi," ungkapnya, dilansir dari Kompas.com.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Hadi Tjahjanto turut terseret dalam kasus ini karena menjabat sebagai Menteri ATR/BPN saat sertifikat tersebut diterbitkan. Namun, keduanya menyatakan tidak mengetahui penerbitan sertifikat itu. "Saya tidak mengetahui adanya penerbitan sertifikat ini selama masa jabatan saya," ujar AHY.
Kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, mencerminkan konflik multidimensi antara upaya mitigasi bencana, perlindungan lingkungan, dan aspek legalitas tata ruang. Pagar yang awalnya diklaim sebagai hasil swadaya masyarakat untuk mencegah abrasi ini justru memunculkan berbagai polemik, dari dugaan pelanggaran hukum hingga kerugian ekologis dan ekonomi.Kasus ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kolaborasi antarlembaga, perencanaan tata ruang yang berbasis bukti, serta pengawasan ketat terhadap regulasi dan aktivitas pembangunan di wilayah pesisir. Dengan pembatalan sertifikat dan pembongkaran pagar laut, langkah menuju pemulihan fungsi ekologis dan keadilan hukum telah diambil, namun investigasi dan pengawasan harus terus berlanjut agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.
Indonesia-Tiongkok Perkuat Kerja Sama Pendidikan Vokasi dan Teknologi...
Towa News | 17 Juni 2025, 09.30 WIB
Hasan Nasbi Buka Suara Soal Pernyataan Fadli Zon...
Towa News | 16 Juni 2025, 15.07 WIB
Retno Marsudi: Manajemen Air Berkelanjutan Kunci Swasembada Pangan...
Towa News | 16 Juni 2025, 12.08 WIB
Ekspor Air dan Minuman Tanpa Alkohol Indonesia Tembus...
Towa News | 16 Juni 2025, 11.58 WIB
Kemendagri Lakukan Evaluasi Menyeluruh Usai Presiden Prabowo Ambil...
Towa News | 16 Juni 2025, 10.05 WIB
Presiden Prabowo Bertolak ke Singapura untuk Kunjungan Kenegaraan...
Towa News | 15 Juni 2025, 20.20 WIB
Dasco: Presiden Prabowo Akan Putuskan Polemik Empat Pulau...
Towa News | 14 Juni 2025, 21.46 WIB
Berdasarkan Hasil Survei Litbang Kompas, 78,3% Publik Yakin...
Towa News | 14 Juni 2025, 09.42 WIB
Indonesia dan Selandia Baru Sepakat Perkuat Hubungan Strategis,...
Towa News | 13 Juni 2025, 14.59 WIB
TNI AD Klarifikasi Kontroversi Perekrutan 24 Ribu Tamtama...
Towa News | 13 Juni 2025, 11.38 WIB