Koalisi Netanyahu Goyah Usai Partai Ultra-Ortodoks Keluar karena Sengketa Wajib Militer

Dipublish oleh Admin | 16 Juli 2025, 09.22 WIB

Koalisi Netanyahu Goyah Usai Partai Ultra-Ortodoks Keluar karena Sengketa Wajib Militer
Sumber : static.republika.co.id

Towa News, Jakarta - Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi guncangan politik setelah partai keagamaan United Torah Judaism (UTJ) mundur dari koalisi yang berkuasa akibat perselisihan mengenai kewajiban militer bagi mahasiswa ultra-Ortodoks. Meski demikian, Netanyahu masih mempertahankan mayoritas tipis di parlemen Israel yang cukup untuk mendukung upaya gencatan senjata di Gaza.

Enam legislator UTJ telah menyerahkan surat pengunduran diri dari berbagai posisi dalam komite parlemen dan jabatan kementerian pada Senin malam. Langkah ini merupakan bentuk protes atas kegagalan parlemen menjamin kelanjutan pengecualian wajib militer untuk para pelajar seminari ultra-Ortodoks.

Partai ultra-Ortodoks kedua, Shas, yang memiliki hubungan erat dengan UTJ, diperkirakan akan mengikuti jejak yang sama. Jika hal ini terjadi, pemerintahan Netanyahu dapat kehilangan mayoritas parlemen.

Para anggota parlemen UTJ memberikan ultimatum 48 jam kepada Netanyahu untuk menyelesaikan krisis yang telah menghantui koalisinya selama berbulan-bulan. Namun, masa reses musim panas parlemen yang dimulai akhir Juli memberikan waktu tambahan tiga bulan bagi perdana menteri untuk mencari solusi sebelum posisinya benar-benar terancam.

Tekanan dari Berbagai Arah

Netanyahu tidak hanya menghadapi tekanan internal koalisi, tetapi juga dari partai sayap kanan terkait perundingan gencatan senjata yang sedang berlangsung di Qatar. Negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas bertujuan menghentikan pertempuran selama 60 hari untuk memungkinkan pembebasan separuh dari sandera yang masih ditahan Hamas dan aliran bantuan ke Gaza.

Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menghendaki Israel melanjutkan perang. Namun, Netanyahu diprediksi masih memiliki dukungan kabinet yang cukup untuk mengamankan gencatan senjata tanpa mereka.

"Ketika kesepakatan yang tepat diajukan, perdana menteri akan mampu meloloskannya," kata ajudan dekat Netanyahu, Topaz Luk, kepada Radio Angkatan Darat, Selasa (15/7).

Latar Belakang Konflik

Perang di Gaza telah berlangsung selama 21 bulan, dimulai dari serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang Israel dan menyandera 251 orang. Respons militer Israel terhadap Hamas telah menewaskan lebih dari 58.000 warga Palestina menurut pejabat kesehatan, mengungsikan hampir seluruh penduduk Gaza, dan menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut.

Konflik ini juga mengakibatkan korban tewas militer Israel tertinggi dalam beberapa dekade, dengan sekitar 450 tentara gugur dalam pertempuran di Gaza. Situasi ini semakin memperkeruh perdebatan mengenai RUU wajib militer baru yang menjadi inti krisis politik Netanyahu.

Polemik Pengecualian Wajib Militer

Para mahasiswa seminari ultra-Ortodoks selama ini mendapat pengecualian dari kewajiban militer. Banyak warga Israel menganggap hal ini sebagai beban yang tidak adil, mengingat mayoritas pemuda Israel harus menjalani dinas militer wajib.

Pemimpin komunitas ultra-Ortodoks berargumen bahwa pengabdian penuh waktu untuk mempelajari kitab suci adalah hal yang sakral. Mereka khawatir para pemuda akan menjauh dari kehidupan beragama jika direkrut ke militer.

Tahun lalu, Mahkamah Agung Israel memerintahkan pencabutan pengecualian tersebut. Parlemen telah berupaya menyusun rancangan undang-undang wajib militer baru, namun hingga kini belum berhasil memenuhi tuntutan UTJ.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video