Krisis Menghantam Singapura, Ramai Restoran Bangkrut-Tutup Massal

Dipublish oleh Tim Towa | 09 Oktober 2025, 10.13 WIB

Krisis Menghantam Singapura, Ramai Restoran Bangkrut-Tutup Massal
( Foto: baller.co.id)

Towa News, Singapura - Industri kuliner Singapura tengah menghadapi krisis besar dengan lebih dari 3.000 bisnis makanan dan minuman (F&B) tutup sepanjang tahun lalu, rata-rata 250 restoran setiap bulan. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam hampir dua dekade terakhir.

Beberapa restoran legendaris yang telah berdiri puluhan tahun terpaksa gulung tikar, termasuk Ka-Soh, restoran Kanton berusia 86 tahun yang akan menyajikan mangkuk sup ikan terakhirnya pada 28 September.

"Kalah. (Meskipun kami) telah bekerja keras selama bertahun-tahun, kami [akhirnya] sudah cukup," ujar Cedric Tang, pemilik generasi ketiga Ka-Soh, Jumat (4/10/2025).

Tang menjelaskan, pihaknya tidak mungkin menaikkan harga jual makanan karena ingin menjaga esensi 'terjangkau' bagi pelanggan lama sebagai bisnis warisan.

Biaya Sewa Menjadi Beban Utama

Kenaikan biaya sewa menjadi faktor utama penutupan massal restoran. Terence Yow, Ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF) yang mewakili lebih dari 1.000 pemilik usaha F&B, mengungkapkan mayoritas penyewa melaporkan kenaikan sewa antara 20 hingga 49 persen.

"Ini sesuatu yang belum pernah kita lihat selama 15, 20 tahun terakhir," kata Yow.

Rumah toko (ruko) menjadi properti incaran investor lokal dan asing di tengah langkah-langkah pendinginan untuk pembelian hunian. Akibatnya, pemilik properti memiliki ekspektasi tinggi terhadap imbal hasil sewa.

Ethan Hsu dari Knight Frank Singapura menjelaskan, biaya konstruksi telah naik sekitar 30 persen dan biaya pemeliharaan setidaknya 10 persen. "Sewa hanyalah salah satu komponen biaya yang dihadapi penyewa," ujarnya.

Krisis Tenaga Kerja dan Perubahan Konsumen

Selain biaya sewa, industri F&B juga menghadapi krisis tenaga kerja. Dengan jumlah juru masak yang makin sedikit, pemain besar berlomba menggandakan gaji normal untuk mengamankan staf. Restoran kecil kesulitan bersaing meski telah menaikkan gaji dan memangkas jam kerja.

Di sisi lain, pola konsumsi masyarakat Singapura berubah drastis. Ronald Chye dan Sarah Lim, pemilik Burp Kitchen & Bar yang tutup pada Juli 2025, mengamati penurunan drastis frekuensi kunjungan pelanggan.

"Frekuensi kunjungan pelanggan turun dari tiga, empat kali seminggu menjadi mungkin sebulan sekali," kata Lim.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan omzet restoran menurun 5,6 persen pada Juni 2025, sementara kafe dan tempat makan lainnya turun 0,1 persen. Sebaliknya, katering dan gerai makanan cepat saji justru mengalami peningkatan penjualan.

Adaptasi Digital dan Solusi Jangka Panjang

Beberapa pelaku usaha mencoba bertahan melalui strategi digital. Marie's Lapis Cafe di Bedok North berhasil meningkatkan bisnis 30 hingga 40 persen setelah aktif di media sosial dan berkolaborasi dengan influencer.

"Kami hanya bertahan hidup di atas tali," kata Christopher Lim (62), pemilik kafe yang menjual rumahnya untuk mempertahankan usaha.

Survei SevenRooms tahun 2023 menunjukkan lebih dari separuh warga Singapura, termasuk 59 persen Gen Z, mengandalkan media sosial untuk menemukan restoran baru.

Sementara itu, kelompok penyewa seperti SGTUFF melobi pemerintah untuk menerapkan batas perpanjangan sewa yang dipatok pada inflasi atau pertumbuhan PDB.

"(Ini memastikan) bahwa setelah penyewa berupaya dua atau tiga tahun untuk membangun bisnis, penyewa tersebut tidak akan mengalami kenaikan harga yang tiba-tiba dan besar sebesar 50, 60, 70 persen," kata Yow.

Meski hampir 3.800 bisnis baru dibuka tahun lalu, jaringan restoran bermodal besar cenderung menyingkirkan gerai independen kecil, membuat masa depan industri F&B Singapura masih penuh tantangan.

 

Sumber: Channel News Asia

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video